Tuesday 23 June 2015

Antara TEDx Talks, Materi Kontroversial, serta Kantung Muntah



Tidak semua orang menyadari, ada proses panjang dibalik sebuah presentasi. Tidak semua juga yang memikirkan, bahwa sesuatu yang disebut revisi, bisa menjadi sangat menekan, bahkan kadang terasa memojokkan. Lantas, apa hubungan TEDx Talks dengan kantung muntah atau airsickness bag pesawat? Bagaimana mungkin seseorang memerlukan sebuah kantung muntah hanya gara-gara acara TEDxITS yang didengung-dengungkan itu, yang saya sendiri tak pernah melewatkannya, yang tiketnya selalu habis terjual dengan semua pembicara inspiratifnya, yang elemen desainnya selalu memanjakan mata di setiap tahunnya?

... saya sudah tak bisa menunggu lagi. Lantas saya ambil kantung muntah itu, dan saya lakukan saat itu juga, "aaaaargh!"


Baru saja sepekan yang lalu, saya mendapatkan kabar mengenai dipublikasikannya video presentasi saya – serta semua pembicara utama lainnya, dalam TEDxITS 3.0: A BlasTED Idea di gedung Rektorat ITS, Surabaya November tahun lalu – ke dalam channel resmi TEDx Talks di Youtube. Seketika, semua ingatan mengenai itu yang semacam telah tenggelam,  terkemukakan kembali. Rasanya, keresahan akibat betapa kontroversialnya materi saya – dan perjuangan untuk bertekad bulat dan mengurungkan niat membatalkan kesempatan untuk tampil ketika itu – terbayarkan. Maksud saya, alhamdulillah, bahwa saya betul-betul bisa melewatinya tanpa mengecewakan orang-orang baik yang sangat saya hormati – yang dengan sangat murah hati – memercayakan saya untuk bisa menuangkan pemikiran, atau sekadar mencurahkan keresahan sebagai seorang desainer baru-lulus ketika itu. Sebut saja Pak Dodik dan Mbak Irma, mas Arief, serta tak lupa pula Organizing Committee (OC) saya, Firda.

Kabar Gembira

Awalnya, saya diminta berbagi cerita sebagai founder mukaku, bidang usaha kreatif ilustrasi potret wajah yang telah saya geluti hingga saat ini. Namun, secara pribadi saya merasa topik itu kurang menantang jika dibandingkan dengan materi Tugas Akhir saya yang telah "dilahirkan" dengan penuh perjuangan itu. Mas Arief, senior saya – yang juga koordinator divisi desain acara tersebut – juga menyarankan untuk membawakan itu, dengan alasan 'lebih mindblowing', katanya. Akhirnya saya  memberanikan diri memilihnya.

"Truthseekers, Here it is the True Reality", adalah judul materi kontroversial yang saya maksud, yang sudah siap saya bawakan sejak pertama kali saya ditawarkan untuk menjadi pembicara pada pertengahan September. Sebetulnya, itu adalah materi yang sama dengan yang telah saya presentasikan pada 1001 IDE: The Extinction di Ciputra World Surabaya pada Maret di tahun yang sama dengan beberapa penyuntingan serta perubahan minor. Ketika itu, OC menginformasikan bahwa saya harus mengirimkan materi saya sebelum tanggal tertentu, dan saya berusaha memenuhi persyaratan tersebut. Bahkan, sebelumnya saya telah melakukan gladi bersih sederhana di rumah, dengan menggunakan timer, penonton bayaran (haha bercanda) serta sebuah Presenter yang saya beli di Sakinah yang telah menemani saya mengarungi lautan presentasi di kampus selama dua tahun terakhir sebelum saya lulus – sampai akhirnya ia hilang entah kemana sejak saat itu. Barulah saya berani mengirimkannya, jujur ketika itu saya merasa berdebar-debar dengan respon yang mungkin datang dari panitia. Bukan karena konten yang ada dalam presentasi saya, namun karena fakta bahwa video publikasi TED yang saya lihat menyatakan dengan tegas bahwa ia bebas dari agenda politik, korporasi, serta agama.

Secara pribadi, saya tahu bahwa saya memang bersih dari ketiga agenda yang saya sebutkan itu, namun, fakta bahwa terdapat video TEDx Talks dari seorang tokoh muslimah lokal kontroversial yang beberapa kali mencetuskan pemikiran yang dianggap liberal – dengan materi yang berhubungan dengan pertanyaan yang secara literal mempertanyakan tentang apakah agama masih dibutuhkan, serta tokoh internasional lain yang buku tentang dirinya sebagai anak dari bapak teroris itu dipromosikan dalam official website TED, sempat membuat saya takut bahkan pusing. Maksud saya, bagaimana mungkin mereka menyatakan bebas dari agenda-agenda agama dan politik, sedangkan di lapangan, itu terjadi, dan semacam 'asalkan sesuai dengan pemikiran gue, kalo perlu gue promoin di website gue,' 'gitu, Sounds not fair, right?

Kembali ke 'reka ulang' adegan, rupanya saya pembicara pertama yang tepat waktu mengirimkan presentasi tersebut – kata OC saya – dan alhamdulillah, kecemasan saya tidak terbukti, karena tidak ada feedback negatif terhadap presentasi saya, sampai tiba-tiba, untuk alasan akademik, acara TEDxITS diundur 2 bulan ke depan, menjadi bulan November.

Kontroversi yang Nyata

Waktu berjalan dengan damai, bulan berganti hingga November tiba, saya menonton banyak presentasi TEDx Talks, mempelajari kembali teknik-teknik presentasi secara online serta mempraktekannya, mengurus data-data administratif secara remote melalui email, hingga sekitar 1 minggu sebelum hari H... kedamaian itu bertransformasi jadi kepanikan, keyakinan jungkir balik menjadi keresahan. Tiba-tiba, beberapa figur paling berpengaruh dalam TEDxITS, menyarankan saya untuk melakukan revisi terhadap presentasi saya, persis dengan gambaran ketakutan yang saya tidak inginkan itu 2 bulan lalu.

"... Terlalu keras...," "... promosi diri...," "forum tidak pas..." dan sebagainya. Feedback mendadak yang saya dengar waktu itu sudah lebih dari cukup untuk menggerayangi hari-hari saya serta meruntuhkan semua tembok yang telah membentuk kata "siap" di kepala saya 2 bulan terakhir itu. Rupanya materi itu dinilai berbau politik dan saya disarankan untuk merevisi, bahkan mengubah topik. Saat itu, setiap jam saya memutar otak tentang apakah saya mampu merubahnya atau tidak,  apakah waktunya cukup atau tidak, perlukah saya mundur saja untuk kebaikan bersama, dan sebagainya.

Saya sangat mengerti bahwa pihak TEDxITS sama sekali tidak berniat buruk atau apapun, mereka hanya mencoba melakukan semuanya secara proper, bahkan mungkin untuk kebaikan saya sendiri. Namun, masalah utamanya adalah, waktu saya bahkan kurang dari 1 minggu, saya merasa tidak akan mampu untuk melakukan itu. Sulit dikemukakan, intinya, saya stres.

Fyuuuh

Sampai sebuah titik, yang bisa dibilang merupakan titik balik 'konflik batin' tersebut. Saya menyadari bahwa saya sudah dipercaya dengan tanggung jawab tersebut, poster sudah dipublikasikan, tiket sudah terjual, dan akomodasi sudah dipersiapkan. Saya tidak boleh mengecewakan siapapun, termasuk diri saya sendiri, tidak ada kata terlambat, bukan, katanya? Serta, bagaimana dengan filsafat militer Tiongkok yang selalu saya agung-agungkan itu, bahwa jika mau memenangkan 100 pertempuran, kenali dulu diri kita, serta musuh kita (Ya, ini ada di dalam video.) Masa saya mau mengalah sebelum bertanding?

Sungguh-sungguh

Akhirnya, saya sudah memutuskan untuk mengubahnya, saya memberanikan diri, untuk membuat presentasi dengan judul yang sama sekali baru, namun tetap menyertakan semua unsur yang ingin saya komunikasikan. Sulit dijelaskan, memang. Intinya, inspirasi selalu datang bagi siapapun yang ingin berjuang. Man jadda wa jadaa kan, kawan?

Keputusan itu terjadi sekitar 2 atau 3 hari sebelum hari H. Namun kalau tidak salah, saya juga masih disibukkan dengan beberapa hal lain, hingga H-1 datang, saya sudah harus berangkat menuju bandara sendangkan presentasi yang sudah saya coba buat, secara menyedihkan baru berkisar 5 - 10 persen saja. Bahkan baru 1 - 3 slide kalau tidak salah (termasuk cover, yes)

Sepanjang perjalanan ke bandara, saya terus memikirkan tentang yang perlu dikemukakan, lalu menjalankan rentetan perjalanan dengan wajar, check inboarding, dan sebagainya, hingga akhirnya saya bisa duduk tenang, dan pesawat pun terbang.

Itulah saat yang saya tunggu-tunggu, waktu bebas yang bisa saya manfaatkan dengan maksimal, untuk menulis outline pembicaraan saya nantinya. Saya membawa pulpen di tas kamera saya, namun rupanya tidak ada kertas, saya harus mengambilnya di tas bepergian yang berada di kabin. Tapi, sungguh sangat membuang waktu jika harus menunggu posisi sempurna pesawat, ataupun meminta permisi penumpang sebelah, dan sebagainya. Sebagai informasi, saya adalah orang yang selalu mengambil dan menyimpan kantung muntah pesawat sebagai 'amplop' untuk menyimpan dokumen-dokumen perjalanan untuk setiap trip. Pembaca pasti memikirkan apa yang saya pikirkan, kan? Ya, bagaikan korban kekerasan yang hendak menelepon nine-one-one, ide itu muncul, karena saya sudah tak bisa menunggu lagi. Lantas saya ambil kantung muntah itu, dan saya lakukan saat itu juga, "aaaaargh! saya harus menyelesaikan presentasi ini dengan baik," kata saya kepada diri saya sendiri, langsung saya tuliskan semua outline, ide, serta narasi presentasi di atas kantung muntah itu. Agak jelek sih, tulisannya, dan agak sempit sih kolomnya, tapi lebih dari cukup untuk hari yang sangat pendek, untuk waktu yang terus berdetik.

Finishing Act

Alhamdulillah, saya memaksimalkan waktu saya dengan baik, singkat cerita, saya sampai ke wisma ITS dan saya yang awalnya berniat menyisipkan waktu bersenang-senang, nostalgia, atau bertemu kawan lama (aih) harus berubah haluan. Saya sampai ba'da maghrib dan yang saya lakukan hanya membuka laptop dan berhadapan dengan aplikasi Power-Point, Illustrator serta Photoshop. Tak terasa pula, sudah jam tiga, dan saya tak boleh terus terjaga. Kabar baiknya, itu tidak seburuk yang saya kira.

Pukul 5, saya bangun, dan langsung melanjutkan beberapa hal yang perlu dilanjutkan, sarapan, bersiap-siap, mengatur beberapa strategi untuk datang sedikit terlambat, dan, yang terpenting, setelah semua siap, saya biarkan dulu laptop menyala, lalu OC serta seorang mahasiswa-penyetir yang menjemput saya, saya panggil, untuk meminta pertolongan kecil buat saya.

Alhamdulillah, mereka mau, mereka duduk di atas kasur yang sudah cukup rapi itu, sementara saya di depan meja rias, bersama laptop saya. Tahu 'kan apa yang kemudian dilakukan? berdandan?? bukan, bukan itu... saya melakukan presentasi di depan mereka, sebelum tiba waktu saya muncul di panggung pada urutan ketiga. Terima kasih untuk mereka berdua :)

Kami berangkat menuju lokasi dan langsung sampai. Untuk pertama kalinya, saya datang bukan untuk mengantre kartu peserta, namun untuk diarahkan panitia. Untuk pertama kalinya, saya duduk di kursi terdepan, melihat para panitia sibuk mengatur jalannya acara, dan ya, sambil menunggu giliran saya, sebagai pembicara berikutnya. Saya berdoa, juga meminta yang sama ke orang tua tercinta. Panitia memanggil saya, memasangkan mic sambil memberikan instruksi-instruksi teknis seperti biasa, dan nama saya, dipanggil saat itu juga. Lalu, Allah membuatnya mengalir begitu saja. :)